Perkara Lidah
Lusi Murdianti
Mei 28, 2017
0 Comments
“Sesungguhnya hikmah itu teramat banyak, namun terkadang ia
berserakan. maka beruntunglah bagi yang
berusaha mengumpulkannya”. (LM)
Kali
ini saya menjumpai sebuah kisah menarik. Tentang dua orang yang berteman dan sudah kenal lama, serta sering bekerja pada tim yang sama untuk beberapa kegiatan. Meskipun pernah berselisih faham
atau pendapat tapi tak benar-benar
membuat mereka berseteru untuk jangka waktu yang lama. Percikan-percikan
itu mereka anggap biasa, sebagai bumbu pertemanan ibaratnya. Namun ternyata , karena kurangnya komunikasi akhirnya membuat mereka tidak sedekat dulu ditambah
jarang ditempatkan di tempat yang sama.
Mereka sibuk dan aktif di tempat yang berbeda, dengan jobdess nya
masing-masing.
Singkat
cerita , setelah beberapa waktu mereka akhirnya jarang bertemu dan tak saling
bertukar kabar. Sebenarnya rutinitas mereka masih berada dilingkungan yang
tidak terlalu jauh, bisa dibilang sangat
dekat tapi tetap saja tak bisa membuat
mereka kerap berjumpa. Hingga pada suatu hari salah satu dari teman mereka
membawa berita dan menyampaikan kepada
salah satunya, lalu yang dibawakan berita menanggapi dengan sepengetahuannya
dan dari sudut pandangnya. Tak disangka, ternyata itu disampaikan lagi kepada
yang satunya. Merasa tak terima dengan pernyataan sepihat teman lamanya itu
akhirnya ia memutus komunikasi dan memilih menutup diri darii temannya itu.
Pada
akhirnya, yang satu menyesal dan satu terluka. Keduanya terluka. Oleh karena
apa? Adalah sebab perkara lidah. Karena lidah badan binasa, hati terluka, hadir
prasangka, dan beberapa akibat lainnya.
Kata maaf, mungkin bisa menyembuhkan. Tapi sedikit. Beruntung jika
keimanan masih bersarang di dada. Melapangkan dada, mengikhlaskan, mengubah
prasangka buruk menjadi berfikir positif, adalah ikhtiar agar luka itu segera
sembuh.
Mengakhiri
tulisan kali ini, saya kembali
mengingatkan diri bahwa memang benar perkara lidah adalah sesuatu yang jangan
sampai disepelekan dan memang membuat kita harus ekstra hati-hati.
Mengapa demikian? Saat sedikit saja ia terpeleset, maka tak dapat diulang atau
ditarik lagi kata-kata yang meluncur darinya. Ibarat anak panah, tak bisa
dikembalikan lagi ke peraduannya. Dan ketika ia menghantam sasaran (perasaan
dan telinga orang lain), hanya kata maaf yang bisa sedikit mengobati lukanya.
Ingat!, hanya sedikit mengobati ,karena ia akan terus membekas dan butuh waktu relatif
lama untuk sembuh semula.
Saya
tersenyum saat menyadari bahwa saya juga pernah beberapa kali mengalami hal ini. Pertama yang
dirasakan adalah rasa bersalah, menyesal, tidak enak dan rasanya ingin menutup
diri saat teringat sudah meluncurkan kata-kata yang tak seharusnya. Namun apa boleh buat “nasi sudah menjadi
bubur”, begitu kata pepatah. Semuanya sudah terlanjur. Apakah kita akan
menyerah begitu saja dan membiarkan semuanya terjadi tanpa berusaha
memperbaikinya?.. hmm, tampaknya itu lebih parah lagi. Tentu saja kita mesti
meminta maaf kepada saudara yang sudah kita zolimi dengan perkataan yang
menyakitkan ini. Kemudian, kita harus memahami bahwa mereka yang terluka hatinya pasti membutuhkan
waktu beberapa saat untuk pulih kembali. Beri mereka waktu sehingga bisa
berfikir jernih dan memberi maaf, dekati mereka, minta maaf setulus-tulusnya
dan berusahalah untuk tidak mengulanginya.. Semoga Allah memaafkan kita yang
pernah seperti itu ya sahabat…
Akhir
kata, saya memohon maaf sebesar-besarnya kepada
pemilik kisah diatas. Saya ambil kisahnya untuk saya ambil pelajaran
darinya. Semoga kita semua, yang membaca dan juga saudara yang diluar sana
lebih berhati-hati dengan lidahnya. Bentuknya memang lunak, namun ia lebih
tajam dari pedang panglima. Ukurannya memang kecil, namun jika salah sedikit
dampaknya sungguh dahsyat.
Berhati-hatilah. Mohon perlindungan Allah.
Ya Allah, jauhkanlah hamba dari kejahatan lisan hamba dan
lisan orang lain. Aamiin Ya Rabb..
Salam cinta. Gadis penggores kata