******
Siapa yang setuju dengan kalimat ini?
"Sayaaaaaaaaaa!!!!!! "
Yups. Entah kenapa saya setuju sekali dengan kata-kata ini. Potongan kalimat yang dikutip dari salah satu status senior pagi tadi. Sampai akhirnya saya meminta izin untuk menscreenshoot lalu memasangnya kembali di story. Mungkin beberapa orang akan bertanya–tanya, apa yang menarik dari penggalan kalimat ini.
Baiklah, Coba kita bahas sebentar.
Menurut saya, memang ada saatnya terkadang ketidaktahuan
lebih baik daripada keingintahuan. Kenapa? Karna ketika kita tahu, itu berefek
kurang positif untuk diri kita. Dalam hal ini, berubahnya pemikiran dan
pandangan, khusunya terhadap subjek (orang) tertentu.
Misalnya begini, saya pernah pada posisi ketika diceritakan sesuatu oleh seseorang yang sebelumnya saya tidak
pernah bertanya apalagi terfikirkan untuk menanyakan hal tersebut kepadanya. Tiba-tiba saja informasi itu datang dengan sendirinya. Ketika saya sebenarnya ingin berhenti dan
mengatakan “cukup jangan ceritakan lagi”,
Ssya masih terus dijejali dengan informasi yang sama. Memang dalam hal ini ketidaksengajaan,
apalagi yang mengatakan hal tersebut lebih dari satu orang.
Lalu bagaimana saya setelah itu? Saya merenung dan bingung sebenarnya. Apa manfaat yang saya dapatkan dari informasi
tsb? Kalau dikatakan tidak berpengaruh sama sekali, rasanya tidak mungkin. Apalagi
jika ini berkaitan dengan orang yang sering berinteraksi dengan kita. jikapun dikatakan
berpengaruh, tidak juga. Mungkin sedikit. Sehingga kesimpulannya adalah pandangan dan penilaian saya terhadap orang
yang diceritakan menjadi sedikit berubah. Yang pernah terjadi, saya sedikit kecewa. Walaupun
itu bukan hak saya sebenarnya.
Inilah kemudian alasan mengapa jika
diberi pilihan, lebih baik tau atau tidak? Saya mungkin akan memilih
ketidaktahuaan. dalam kondisi seperti ini, yaa. Sebab pada ketidaktahuan saya akan berfikir dan bertindak biasa saja pada orang-orang sekitar saya tanpa menaruh pandangan yang
berhubungan dengan masa lalunya atau apa saja yang telah dilakukannya menurut versi cerita yang telah saya dengar sebelumnya.
Bukankah setiap orang memang punya masa lalu, apa sekarang dia tidak pantas untuk berubah? Tentu saja setiap orang berhak bukan?
Bukankah setiap orang memang punya masa lalu, apa sekarang dia tidak pantas untuk berubah? Tentu saja setiap orang berhak bukan?
Lalu
di sini siapa yang harus disalahkan?
Oke.
Atas informasi dan cerita apapun yang pernah saya terima. Saya memutuskan untuk
tak menyalahkan siapa-siapa.
Mungkin.
Ini kemungkinan saja, bukan pembenaran.
Pertama. Si
pemberi informasi berniat baik ingin memberitahu kita supaya kita tahu dan
tetap menjaga diri setelah itu.
Kedua,
diri kita sendiri. Hey, Kita juga tidak berkeinginan untuk mencari
tau kan, tapi informasi itu datang dengan sendirinya tanpa kita bertanya.
Ketiga.
Subjek/objek cerita. Tidak mungkin juga kita menyalahkan mereka. Yang diceritakan
pasti tidak mungkin mau menjadi objek cerita orang-orang. Terlebih lagi jika
berita itu tidak benar. Jikapun benar, berpasangka baik saja, mungkin mereka punya
alasan yang alasan itu tidak bisa mereka bagikan kepada semua orang.
Tapi
jikapun harus ada yang disalahkan, lebih baik salahkan diri sendiri saja. Sebab kita adalah yang paling bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Kita bisa membatasi informasi apa saja yang selayaknya kita dengar, kita olah di fikiran, atau yang harus kita ceritakan kembali. Yups, kita adalah pemegang kontrol diri.
Pada
intinya. Tidak semua hal mesti kita tau
dan cari tau. Tidak semua cerita harus kita simak. Tidak semua suara harus kita
dengar. Bukan maknanya kita tak peduli. Bukan. Kadang kita memang harus
begitu. Cukup tidak tau. Jika sudah terlanjur tau, cobalah untuk tak
memikirkannya terlalu jauh..
Sekarang saya sedang belajar untuk begitu..
*****
"Ketika
mendengar sesuatu, biasakanlah untuk bertanya"
Oke, ini pelajaran kedua. Jika nasihat
pertama tadi saya dapatkan pagi. Maka yang kedua ini saya dapatkan siang hari.
Berawal dari pembicaraan kami bertiga (saya,
teman, dan salah satu senior kami) di sela-sela dauroh, di luar ruangan. Sebenarnya
kata-kata ini sudah biasa terdengar dan terucapkan. Tapi siang ini rasanya agak berbeda.
Tepatnya lebih mengena.
Berawal dari pembahasan kami tentang
satu isu yang berakhir dan merembet pada suatu cerita (read: kasus). Sebab ini berkaitan dengan orang yang kami kenal otomatis
kebenarannya kami tau, tentu dari yang bersangkutan. Nah yang menjadi masalah
disini adalah ketika misalnya cerita ini
bergulir dari ucapan beberapa orang dan ternyata hal tersebut salah. Ini tentu menjadi
sesuatu yang kurang menyenangkan dan bisa jadi merugikan bagi subjek yang diisukan. Sehingga salah satu
senior kami tadi berkata seperti ini.
“kite tuh, kalau dapat/dengar informasi
langsung jak klarifikasi ke orangnye. Benar ndak? Jangan ke yang bawa cerite
karna terkadang mereka sendiripun ndak tau ape yang sebenarnye terjadi".
Saya setuju. Prinsip tabayyun itu memang penting.
Dari situlah salah satu jalan kita akan menemukan kebenaran. Atau setidaknya alasan
sebuah tindakan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa hal tersebut bisa
terjadi? Atau bagaimana kejadian yang sebenarnya?. Saya yakin, setiap hal yang
dilakukan seseorang pasti punya alasan. Alasannya beragam, ada yang bisa
diterima, bisa dimaklumi, atau bisa jadi hanya sebuah pembenaran yang disitu
sebenarnya mereka sedang keliru. Jika memang disitu ada kekeliruan, kita akhirnya
bisa meluruskan dengan memberi nasihat dan pandangan.
Membahas ini saya jadi teringat sebuah kejadian. Sebab saya sendiri pernah merasa berada pada
posisi “disalahfahami”. Jadi waktu itu (sudah
beberapa tahun yang lalu), disebabkan
oleh tulisan yang tidak sengaja saya tulis di sebuah grup tentang kritik saya
terhadap sesuatu. Nah Sekitar lima belas menit setelah mengirim itu, saya
putuskan untuk dihapus saja sebelum dibaca lebih lanjut. Ternyata di grup itu,
pesan apapun yang sudah ditulis
sekalipun telah kita hapus tetap bisa dibaca orang lain dan saya tidak tau itu. Saya sendiri baru tau
setelah tiga hari sebab dikirimi pesan pribadi yang berisi video nasihat untuk
tak saling berdebat oleh salah satu junior . Saya bingung, kenapa. Dan di hari
itulah saya baru tersadar bahwa orang-orang (read: teman-teman) membicarakan
dan mendebatkan tulisan itu. Saya benar-benar baru tau sebab dalam rentang tiga
hari itu tidak ada yang bertanya atau klarifikasi. Sebab tulisan itu juga saya
di “tuduh” ini itu, intinya dinilai yang kurang sopanlah. sesuatu yang sederhana sebenarnya. Bisa dikatakan sepele tapi berefek luar biasa. Orang orang menjadi
kecewa terhadap saya dan saya tentu juga kecewa dengan orang-orang. Mengapa tidak
ada satu orang pun yang menanyakan kepada saya apa maksud tulisan yang sebenarnya
telah saya hapus itu? jika ditanya saya pasti akan menjawab alasannya.
Apa yang terjadi, sebabnya apa. begitu.
Karna hal tersebut juga, beberapa orang di luar grup akhirnya juga tau. (And I always ask “why?” 😓
Karna hal tersebut juga, beberapa orang di luar grup akhirnya juga tau. (And I always ask “why?” 😓
“Nasi sudah menjadi bubur, anak panah
sudah terlanjur berpisah dari busur. Kira-kira begitulah. Hanya kata maaf dan
komitmen untuk senantiasa berhati-hati ke depan menjadi penguat dan perekat
kembali sebuah kesalahfahaman”.
Klarifikasi, tanyakan kembali. Kira-kira
begitulah hendaknya sikap kita saat menghadapi suatu berita. Saya juga mungkin pernah tersilap, melewatkan proses bertanya
dan klarifikasi kembali setelah mendapat informasi. Ini untuk beberapa kondisi
saja. Misalnya cerita yang saya tiba-tiba dapatkan tanpa saya tanyakan
sebelumnya. Apalagi ia berkaitan dengan kisah (masa lalu misalnya) milik
seseorang. Privasinya apalagi. Sesuatu yang saya yakin orang tersebut tidak
akan senang jika kita tanyakan. Itu tentu tidak mungkin kan.
Cara bertanya pun hendaknya
hati-hati. Cari moment yang pas, kondisi yang paling memungkinkan, bahasa yang
paling halus dan tidak menyakitkan, dan nasihat paling lembut yang bisa kita
berikan.
Ah. Semoga saya bisa begitu. Menjadi
manusia yang tak mudah menjudge orang
lain, berusaha memahami sebelum terburu-buru menyimpulkan, serta tetap berprasangka
baik demi menemukan kebenaran.
Maafkan
saya yang pernah beberapa kali sebab mendengar suatu cerita yang saya sendiri
belum tau kebenarannya, diam-diam menjadi sedikit menyimpan kecewa, dan cerita itu sampai saat ini belum diklarifikasi
(karna itu tidak memungkinkan untuk ditanyakan)🙏.
Tapi apapun itu, setelah terlanjur tau, saya memilih untuk tak mau tau saja. Selayaknya diam yang terkadang lebih baik dibanding berbicara.
Tapi apapun itu, setelah terlanjur tau, saya memilih untuk tak mau tau saja. Selayaknya diam yang terkadang lebih baik dibanding berbicara.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada
kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu),
agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar
kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.
[al-Hujurât/49:6].
[al-Hujurât/49:6].
************
Salam
sayang dari saya.
🌻
🌻
#Catatan.Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar